Dalam Al-Qur’an memang tidak terdapat ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila perceraian itu terjadi. Di dalam hal
perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat di lihat dari beberapa ayat Al-Qur’an atau Hadis.
Adapun yang mendasari diperbolehkan perceraian adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-Baqarah Ayat 227
Artinya : ‚Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui‛.
2. Surat Al-Baqarah Ayat 229
Artinya : ‚Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya ( suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim‛.
3. Surat At-Thalaq Ayat 1
Artinya : ‚Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)‛.
4. Hadist
Artinya : ‚Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah thalaq‛.
Agama Islam membolehkan suami istri melakukan perceraian, namun harus dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.
Namun demikian, Rasulullah memberikan catatan bahwa Allah sangat membenci itu meskipun halal dilakukan. Dan Rasulullah juga menegaskan agar keluarga muslim dapat mempertahankan hubungan
suami istri hingga akhir hayat dan menghindari perceraian yang memiliki dampak negatif terhadap perkembangan anak.
Dilihat dari konteks para ulama mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adapun sebab-sebab dan alasan terjadinya perceraian itu adakalanya menyebabkan kedudukan perceraian menjadi wajib, makruh, mubah, sunnah, dan haram.
Adapun dari segi hukum cerai terbagi menjadi beberapa kategori :
1. Wajib
Apabila terjadi konflik antar pasangan suami istri, lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan hakim yang mengurus perkara keduanya. Jika hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah cerai menjadi wajib.
2. Makruh
Apabila perceraian antara suami istri yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan atau perceraian dijatuhkan kepada istri yang sholehah atau istri yang berbudi mulia.
3. Mubah
Perceraian yang dilakukan hanya karena ada kebutuhan, seperti, menceraikan istri yang tidak di cintai atau tidak di sukainya lagi sehingga suami tidak mau menyetubuhinya dan tidak memberi nafkah.
4. Sunnah
Perceraian yang dilakukan hanya pada saat istri mengabaikan perintah Allah SWT, seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak mampu memaksanya dan tidak mampu berumah tangga dengan istrinya. Menurut Imam Ahmad bahwa istri tersebut tidak patut dipertahankan karena dapat mengurangi iman suami. Dalam kondisi rumah tangga yang seperti ini
suami tidak salah bertindak keras kepada istrinya, agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya untuk bercerai. Sebagaimana firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat 19 :
Artinya : ‚Dan janganlah kamu (suami) menghalangi mereka (istri-istri) karena kepada mereka
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan perbuatan keji dengan terang-terangan.‛
5. Haram
Apabila perceraian dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan, seperti:
Pertama : menceraikan istri yang dimadu yang tidak dipenuhi gilirannya atau menceraikannya
si suami yang sedang sakit keras dengan maksud bila ia mati, istri tidak dapat harta pusakanya.
Kedua : Menceraikan istrinya dengan cerai tiga sekaligus atau cerai satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
Ketiga : Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
Keempat : Menceraikan istri ketika sedang haid atau nifas
Dari beberapa pemaparan dasar dan hukum perceraian di atas, sudah jelas betapa tinggi nilai dan kesucian Islam terhadap ikatan perkawinan, kesungguhan dalam menjaga keutuhan rumah tangga
yang telah diatur sedemikian rupa, agar mencapai keluarga harmonis, bahagia, dan sejahtera. Akan tetapi, adakalanya dalam mengarungi keutuhan rumah tangga tidak selamnya tercipta kondisi yang
harmonis, terkadang terjadi kesalahpahaman antara suami istri, salah satu pihak melalaikan kewajibannya, terlebih lagi tidak mempercayai satu sama lain. Dalam keadaan yang seperti ini diperlukan sifat arif dan bijaksana dari suami maupun istri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Namun jika berbagai cara sudah ditempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan tidak mendapatkan jalan yang terbaik, maka sebagai alternatif terakhir ajaran Islam membolehkan untuk melakukan perceraian jika hal itu memberi kemaslahatan bagi keduanya. Adapun hal-hal yang memberikan wewenang kepada suami untuk menjatuhkan cerai kepada istrinya. Hal ini dikarenakan:
1. Akad nikah dipegang oleh suami, suamilah yang menerima ijab dari pihak istri waktu dilaksanakan akad nikah.
2. Suami wajib memberi mahar kepada istrinya diwaktu akad dan dianjurkan membawa uang mut’ah (pemberian suka rela dari suami kepada istrinya) setelah suami menceraikan istrinya.
3. Suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya daripula iddah apabila ia menceraikannya.
4. Perintah-perintah menceraikan dalam Al-Qu’an dan Al-Hadist banyak ditujukan kepada suami.
5. Suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada istri yang biasanya bertindak atas dasar emosi.